Mu’ahadah adalah mengingat perjanjian dengan Allah SWT.
Sebelum manusia lahir ke dunia, masih berada pada alam gaib, yaitu di
alam arwah, Allah telah membuat “kontrak” tauhid dengan ruh.
Kontrak tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam keadaan
ruh belum berupa materi (badan jasmani). Karena itu, logis sekali jika
manusia tidak pernah merasa membuat kontrak tauhid tersebut.
Mu’ahadah konkritnya diikrarkan oleh manusia mukmin kepada
Allah setelah kelahirannya ke dunia, berupa ikrar janji kepada Allah.
Wujudnya terefleksi minimal 17 kali dalam sehari dan semalam, bagi yang
menunaikan shalat wajib, sebagaimana tertera di dalam surat Al Fatihah
ayat 5 yang berbunyi: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Artinya,
engkau semata wahai Allah yang kami sembah, dan engkau semata pula
tempat kami menyandarkan permohonan dan permintaan pertolongan.
Ikrar janji ini mengandung ketinggian dan kemantapan aqidah.
Mengakui tidak ada lain yang berhak disembah dan dimintai pertolongan,
kecuali hanya Allah semata.
Tidak ada satupun bentuk ibadah dan isti’anah (Permintaan Pertolongan) yang boleh dialamatkan kepada selain Allah SWT.[2]
Mu’ahadah yang lain adalah ikrar manusia ketika mengucapkan
kalimat “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya
kuperuntukkan (ku-abdikan) bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam.”
0 comments:
Post a Comment