Sultan Mehmed II atau juga dikenal sebagai Muhammad Al-Fatih (bahasa
Turki Ottoman: م�*مد ثانى Mehmed-i sānī, bahasa Turki: II. Mehmet, juga
dikenal sebagai el-Fatih (الفات�*), "sang Penakluk", dalam bahasa Turki
Usmani, atau, Fatih Sultan Mehmet dalam bahasa Turki;
Sultan Muhammad II dilahirkan pada 29 Maret 1432 Masehi di Adrianapolis
(perbatasan Turki – Bulgaria). menaiki takhta ketika berusia 19 tahun
dan memerintah selama 30 tahun (1451 – 1481).
Beliau merupakan seorang sultan Turki Utsmani yang menaklukkan
Kekaisaran Romawi Timur. Mempunyai kepakaran dalam bidang ketentaraan,
sains, matematika & menguasai 7 bahasa yaitu Bahasa Arab, Latin,
Yunani, Serbia, Turki, Persia dan Israil. Beliau tidak pernah
meninggalkan Shalat fardhu, Shalat Sunat Rawatib dan Shalat Tahajjud
sejak baligh. Beliau wafat pada 3 Mei 1481 kerana sakit gout sewaktu
dalam perjalanan jihad menuju pusat Imperium Romawi Barat di Roma,
Italia. Dari sudut pandang Islam, ia dikenal sebagai seorang pemimpin
yang hebat, pilih tanding, dan tawadhu'' setelah Sultan Salahuddin
Al-Ayyubi (pahlawan Islam dalam perang Salib) dan Sultan Saifuddin
Mahmud Al-Qutuz (pahlawan Islam dalam peperangan di ''Ain Al-Jalut" melawan tentara Mongol).
Usaha Sultan dalam Menaklukan Konstantinopel
Istanbul atau yang dulu dikenal sebagai Konstantinopel, adalah salah
satu bandar termasyhur dunia. Bandar ini tercatat dalam tinta emas
sejarah Islam khususnya pada masa Kesultanan Utsmaniyah, ketika
meluaskan wilayah sekaligus melebarkan pengaruh Islam di banyak negara.
Bandar ini didirikan tahun 330 M oleh Maharaja Bizantium yakni
Constantine I. Kedudukannya yang strategis, membuatnya punya tempat
istimewa ketika umat Islam memulai pertumbuhan di masa Kekaisaran
Bizantium. Rasulullah Shallallahu ''Alaihi Wasallam juga telah beberapa
kali memberikan kabar gembira tentang penguasaan kota ini ke tangan umat
Islam seperti dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ''Alaihi Wasallam
pada perang Khandaq.
Para khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan
Konstantinopel. Usaha pertama dilancarkan tahun 44 H di zaman Mu''awiyah
bin Abi Sufyan Radhiallahu ''Anhu. Akan tetapi, usaha itu gagal. Upaya
yang sama juga dilakukan pada zaman Khilafah Umayyah. Di zaman
pemerintahan Abbasiyyah, beberapa usaha diteruskan tetapi masih menemui
kegagalan termasuk di zaman Khalifah Harun al-Rasyid tahun 190 H.
Setelah kejatuhan Baghdad tahun 656 H, usaha menawan Kostantinopel
diteruskan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia)
terutama Kerajaan Seljuk. Pemimpinnya, Alp Arselan (455-465 H/1063-1072
M) berhasil mengalahkan Kaisar Roma, Dimonos (Romanus IV/Armanus), tahun
463 H/1070 M. Akibatnya sebagian besar wilayah Kekaisaran Roma takluk
di bawah pengaruh Islam Seljuk.
Awal kurun ke-8 hijriyah, Daulah Utsmaniyah mengadakan kesepakatan
bersama Seljuk. Kerjasama ini memberi nafas baru kepada usaha umat Islam
untuk menguasai Konstantinopel. Usaha pertama dibuat di zaman Sultan
Yildirim Bayazid saat dia mengepung bandar itu tahun 796 H/1393 M.
Peluang yang ada telah digunakan oleh Sultan Bayazid untuk memaksa
Kaisar Bizantium menyerahkan Konstantinople secara aman kepada umat
Islam. Akan tetapi, usahanya menemui kegagalan karena datangnya bantuan
dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk.
Selepas Daulah Utsmaniyyah mencapai perkembangan yang lebih maju dan
terarah, semangat jihad hidup kembali dengan nafas baru. Hasrat dan
kesungguhan itu telah mendorong Sultan Murad II (824-863 H/1421-1451 M)
untuk meneruskan usaha menaklukkan Kostantinopel. Beberapa usaha
berhasil dibuat untuk mengepung kota itu tetapi dalam masa yang sama
terjadi pengkhianatan di pihak umat Islam. Kaisar Bizantium menabur
benih fitnah dan mengucar-kacirkan barisan tentara Islam. Usaha Sultan
Murad II tidak berhasil sampai pada zaman anak beliau, Sultan Muhammad
Al-Fatih (Mehmed II), sultan ke-7 Daulah Utsmaniyyah.
Semenjak kecil, Sultan Muhammad Al-Fatih telah mencermati usaha ayahnya
menaklukkan Konstantinopel. Bahkan beliau mengkaji usaha-usaha yang
pernah dibuat sepanjang sejarah Islam ke arah itu, sehingga menimbulkan
keinginan yang kuat baginya meneruskan cita-cita umat Islam. Ketika
beliau naik tahta pada tahun 855 H/1451 M, dia telah mulai berpikir dan
menyusun strategi untuk menawan kota bandar tadi. Kekuatan Sultan
Muhammad Al-Fatih terletak pada ketinggian pribadinya. Sejak kecil, dia
dididik secara intensif oleh para ''ulama terulung di zamannya. Di zaman
ayahnya, yaitu Sultan Murad II, Asy-Syeikh Muhammad bin Isma''il
Al-Kurani telah menjadi murabbi Amir Muhammad (Al-Fatih). Sultan Murad
II telah menghantar beberapa orang ''ulama untuk mengajar anaknya
sebelum itu, tetapi tidak diterima oleh Amir Muhammad. Lalu, dia
menghantar Asy-Syeikh Al-Kurani dan memberikan kuasa kepadanya untuk
memukul Amir Muhammad jika membantah perintah gurunya.
Waktu bertemu Amir Muhammad dan menjelaskan tentang hak yang diberikan
oleh Sultan, Amir Muhammad tertawa. Dia lalu dipukul oleh Asy-Syeikh
Al-Kurani. Peristiwa ini amat berkesan pada diri Amir Muhammad lantas
setelah itu dia terus menghafal Al-Qur''an dalam waktu yang singkat. Di
samping itu, Asy-Syeikh Aaq Samsettin (Syamsuddin) merupakan murabbi
Sultan Muhammad Al-Fatih yang hakiki. Dia mengajar Amir Muhammad
ilmu-ilmu agama seperti Al-Qur''an, hadits, fiqih, bahasa (Arab, Parsi
dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan sebagainya.
Syeikh Aaq Syamsudin lantas meyakinkan Amir Muhammad bahwa dia adalah
orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah Shallallahu ''Alaihi Wasallam di
dalam hadits pembukaan Kostantinopel.
0 comments:
Post a Comment