Sunday, August 18, 2013

Mengharapkan Husnul Khotimah

Sebagian dari salafusshalih memikirkan dan membayangkan, seakan berada dalam pikiran tertentu dan dalam kesedihan hingga tidak sadarkan diri, dalam arti tidak merasakan lagi apa yang di depannya, siapa yang di sekitar mereka atau apa yang sedang mereka ucapkan. Ini berkaitan dengan akhlak dan sifat mulia salafussoleh. Mereka sangat takut jika tiba-tiba dicabut nyawa mereka. Takut karena kemungkinan meninggal - naudzu billah- dalam keadaan su’ul khotimah dan hal itu selalu menghiasi pikiran mereka.
Imam Hasan Basri, sayyidut tabi’in, dalam kesehariannya selalu terlihat seakan sedang mendapat musibah. Orang di sekitar beliau selalu mendapatinya dalam kemurungan bagai seorang anak yang baru saja kehilangan sosok ibu yang sangat ia cinta. Apa yang tampak pada raut wajah beliau yang terlihat murung itu adalah karena ketakutan yang selalu ada dalam pikiran beliau, takut akan jatuh pada murkaNya, takut akan melanggar perintahNya. Jangankan Imam Hasan Bashri yang seorang tabi’in, Rasulullah yang telah mendapat jaminan ampunan dari Allah saja selalu merapalkan doa, Ya Muqollibal Qulub, Tsabbit Qolbi Ala Dinik, “Duhai dzat yang mengatur hati, tetapkanlah hatiku ini atas agamamu”. Sebuah permintaan untuk diberi ketetapan hati dalam Islam.
Para sahabat yang selalu memperhatikan setiap gerak Rasulullah heran mendengar doa yang seringkali dipanjatkan nabi tersebut. Perasaan heran itu muncul dengan alasan, kenapa Rasulullah masih memanjatkan doa seperti tersebut tadi padahal beliau merupakan nabi terbaik bahkan makhluk paling mulia. Dengan kesempurnaan yang ia miliki, tidak serta-merta beliau menyikapi hidup dengan tenang. Besarnya kualitas taqwa, menjadikan beliau sebagai sosok yang benar-benar takut kepada Allah swt. Para sahabat pun bertanya, kenapa engkau berdoa seperti itu wahai Rasulullah? Maka Rasulullah menjawab, “apa yang membuatku merasa aman (untuk husnul khatimah)? Sesungguhnya hati seseorang berada dalam genggaman (kekuasaan) allah. Allah yang mengatur sesuai kehendaknya. Jika ingin, akan menjadi nasrani. Dan jika ingin akan menjadi yahudi.”
Al-habib Abdullah bin Alwi al-Haddad di dalam ratib beliau yang masyhur saja sampai mengulang bacaaan ya dzal jalali wal ikrom amitna ‘al dinil islam sampai tujuh kali padahal mayoritas bacaaan wirid yang lain hanya dibaca tiga kali. Beliau berdoa kepada Allah agar dimatikan kelak dalam keadaan Islam. Beliau sendiri kadang-kadang terlihat sedih dan kadang kadang terlihat takut bahkan sampai menangis. Ketika ditanya mengapa beliau menangis, beliau menjawab, “aku teringat akan siksa kubur, aku teringat azab kubur.” Mereka menimpali pernyataan habib Abdullah dan berkata, “wahai Habib, engkau adalah waliyullah, engkau telah melakukan berbagai amal kebajikan.” Maka beliau menjawab, “siapa yang dapat menjamin aku aman dari siksa kubur ketika aku di dalam kuburan? siapakah di antara kalian yang dapat menjamin aku akan aman dari azab dan murka Allah.” Hal ini mengindikasikan bahwa sosok sekaliber beliau pun masih merasa takut luar biasa terhadap siksa kubur dan azab Allah. Beliau tidak merasa aman kelak diambil oleh Allah dalam keadaan memeluk agama Islam.
Begitulah memang seharusnya perasaan yang dimiliki orang yang bertakwa kepada Allah. Semakin bertambah kualitas imannya kepada Allah maka akan bertambah lah takutnya kepada Allah. Orang yang begitu yakin bahwa dia adalah orang yang pasti masuk surga, yakin ia akan aman dari azab dan siksa kubur maka ia adalah orang yang paling berpeluang dicabut imannya. “tidaklah merasa aman seseorang dengan imannya kecuali dikhawatirkan orang tersebut akan dicabut imannya”. Ingatlah, sesungguhnya Rasulullah sudah mengingatkan dalam hadisnya, bahwa".. salah seorang dari kalian akan beramal dan berbuat kebaikan seperti ahli surga sehingga tinggal sejengkal saja jarak antara ia dan surga, akan tetapi ia melakukan perbuatan ahli neraka lalu sebab karena perbuatannya tersebut, ia masuk neraka. " (Shahih Bukhari )
 
Berkata Al-habib Abdullah bin Alwi al-Haddad: “barang siapa yang ketika umurnya telah sampai 40 tahun akan tetapi pikirannya masih terikat pada dunia dan kemaksiatan maka syaithan berkata orang ini tidak akan bahagia dan beruntung selamaya.”
Imam Hasan al-bashri ketika mendengar hadist yang menerangkan bahwa orang terakhir yang akan keluar dari neraka adalah seorang dari Bani Juhainah yang keluar dari neraka setelah disiksa di sana selama seribu tahun, beliau berkata aku berharap akulah orang tersebut. Orang-orang berkata: mengapa engkau berkata seperti itu wahai imam? Maka beliau menjawab: “bukankah ia pasti keluar dari neraka?”. Artinya bisa jadi kita ini masuk neraka dan tidak akan keluar lagi dari sana selama-lamanya. Kalau sudah begitu bukankah orang dari bani Juhainah tersebut lebih baik dari kita. Ia mendapat jaminan dari Rasulullah pasti keluar dari neraka, sedangkan kita, siapa yang dapat menjamin kita akan keluar dan selamat dari siksa neraka?
Setiap mukmin yang meninggal dalam membawa iman walau seberat biji dzarrah pasti akan masuk surga, namun apakah ia langsung masuk surga ataukah akan mampir terlebih dahulu, hal itu tergantung pada amal yang dia lakukan selama hidup di dunia. Apabila selama hidup di dunia ia melakukan berbagai macam maksiat tetapi ketika meninggal ia membawa iman, maka ia akan masuk surga pada akhirnya, walaupun ia harus menjalani hukuman terlebih dahulu di neraka. Seperti halnya tas yang kotor, tas tersebut tidak mungkin akan langsung dimasukkan ke lemari penyimpanan akan tetapi akan dicuci terlebih dahulu. Begitu juga seorang mukmin, apabila ia meninggal dalam keadaaan beriman tetapi membawa beban dosa, maka ia akan dibersihkan dulu dari dosa-dosanya di neraka, setiap anggota tubuh yang melakukan maksiat akan dicuci dan dibersihkan sesuai dengan tingkatan dan macam siksa neraka yang telah disiapkan oleh Allah. 
Nas’alullah al-afwa wal afiyah wa husnal khotimah.

0 comments:

Post a Comment